Selasa, 08 Januari 2013

Review Habibie Ainun

1356244363493295032
Habibie dan Ainun (kredit foto equshing.wordpress.com)
Judul Film : Habibie dan Ainun
Sutradara : Faozan Rizal
Bintang : Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Ratna Riantiarno, Tio Pakusadewo, Vita Mariana Barrazza, Mike Lucock, Bayu Oktora, Hanung Bramantyo, Teuku Rifnu Wikana
Rated : ****
Suatu hari di sebuah hanggar tua dalam kawasan IPTN, Bandung, saya kira tahun 2000-an Habibie (Reza Rahadian) bersama istrinya Ainun (Bunga Citra Lestari) menyempatkan diri singgah. Mantan Presiden RI ini menunjukkan sebuah pesawat yang berdebu Gatotkaca N250. Sambil menangis Habibie berkata: Untuk membangun pesawat itu saya kehilangan waktu 30 tahun bersama kamu dan anak-anak. Adegan yang bikin saya merinding dan menitik air mata.
Bagi saya adegan itu adalah best scene sari dari film Habibie dan Ainun, kisah cinta Sang Teknokrat kepada bangsanya sekaligus pada keluarganya. Saya menganjurkan menonton film ini lepaskan pandangan politik, nikmati film ini seperti sebuah film drama cinta yang kebetulan menyangkut salah seorang mantan orang nomor satu di republik ini. Saya termasuk puas seperti ratusan penonton (didominasi kaum ibu) yang memenuhi di sebuah bioskop di kawasan Depok, Jawa Barat. Catatan Habibie dan Ainun ditayangkan di dua layar bertanding dengan 5 CM yang juga tayang dua layar.
Dari awal film yang disutradarai Faozan Rizal sudah memikat. Opening scene: Teriakan Ainun, Ainun ketika sedang bermain kasti di sebuah SMA di Bandung pada 1953, dia adalah seorang remaja yang kulitnya hitam dan agak gemuk, dilanjutkan dengan seorang guru fisika yang mempertemukan Ainun (dimainkan oleh Marsha Natika) dengan kakak kelasnya Rudi Habibie (waktu remaja dimainkan Esa Sigit) diminat menjelaskan mengapa langit biru. Ainun fasih menjelaskan: “Kalian jodoh!” Cetus guru itu dengan logat masih berbahasa Belanda. Scene awal yang memuaskan saya, karena saya tahu pasti kasti adalah salah stau olahraga favorit anak sekolah masa itu dan guru-gurunya masih didikan Belanda. Begitu juga kostum dan potongan rambut pas.
Cerita melompat ke Aachen, Jerman 1959. Habibie sudah menjadi mahasiswa jenius lulus program diploma ingineur kosntruksi pesawat terbang dalam waktu 4 tahun –mahasiswa lain rata-rata 6 tahun- hingga memikat para teknokrat di negri itu. Dalam salah satu adegan dia digambarkan menderita TBC hingga harus dibawa ke rumah sakit. Ada dialog antar suster yang menyentak: dia dari Indonesia, lalu yang lain berkata: Indonesia di mana ya?
Adegan bergulir ke kota Bandung 1962 menjelang lebaran, Habibie diminta ikut adiknya Fanny Habibie mengantar makanan ke Jalan Rangamalela, rumah Ainun. Lalu Habibie teringat kembali masa SMA ketika dia didorong oleh kawan-kawannya mengatakan Ainun kamu gula jawa, hitam dan gendut. Tapi Ainun cuek saja. Namun ketika bertemu Ainun yang sudah menjadi dokter, Habibie terpukau : Kamu sudah semanis gula pasir. Dia jatuh cinta. Ainun terpikat atas kesederhanaan Habibie.
1356244492862075872
Pertemuan Habibie dan Ainun (kredit Foto id.omg.yahoo.com)
Habibie pun menikah dengan Ainun. Dia mengalahkan “kompetitornya”.  Saya suka adegan lima anak muda bertandang ke rumah Ainun dengan mobil, tetapi ia memilih jalan dengan Habibie. Mereka hanya melongo dan ayah Ainun malah menyilahkan para tamunya mengobrol bersamanya. Adegan dansa twist masa itu benar-benar nostalgia 1960-an bagi ibu saya (yang ikut menonton bersama saya). Dia cerita: Bandung masa itu (ibu saya pernah sekolah di sana) memang seperti itu, arsitektur rumahnya, naik becak dan kotanya masih sepi.
Kisah cinta mereka berlanjut di Jerman, bertahan hidup dalam kesederhanaan. Beberapa adegan menyentuh, seperti Habibie berjlaan tertatih-tatih mencari nafkah tambahan di hamparan salju. Kakinya terluka karena sepatunya bolong. Lalu ia tambal dengan kertas rancangan kerjanya. Pulang Habibie makan apa saja yang dimasak istrinya. Ainun diceritakan sempat goyah dan hendak pulang ke Indonesia. Namun akhirnya kedua anak mereka lahir di Jerman hingga akhirnya Ainun jadi dokter anak.
Akhirnya Habibie dipanggil mengabdi ke Republik dan sejarah mencatat ia tidak saja menristek, tetapi juga menjadi Presiden RI. Kisah Habibie dan Ainun selama masa Orde Baru juga tak kalah mengundang aplaus saya. Terutama pada kharakter seorang pengusaha bernama Sumohadi (dimainkan dengan baik oleh Hanung Bramantyo), tipikal pengusaha lihay masa itu - lebih tepatnya seorang broker proyek- yang berusaha mendapatkan keuntungan dari Habibie melalui jalan belakang.  Sementara Habibie  sendiri menginginkan proyek  melalui tender.
Cara Sumohadi menggoyahkan Habibie mulai dengan menyusup arloji emas ke dalam parcel. Ainun gusar dengan hal itu dan meminta arloji dikembalikan. Sumohadi tak kehabisan akal ia pun mengirim perempuan, hingga menyuap terang-terangan. Benar-benar gambaran intrik di lingkaran elite masa itu? Sementara adegan kejadian politik digambarkan lewat potongan berita media cetak maupun televisi. Hal-hal ini dikemas dengan apik sampai ending film ini yang sudah bisa diketahui oleh rata-rata penonton film ini.
Kelebihan lain film ini adalah di departemen akting. Reza Rahadian sekalipun tidak mirip Habibie secara fisik, tetapi cara berjalan, cara bertutur Habibie benar. Aktor ini memang bersinar pada 2012 ini. Bunga Citra Lestari tidak telalu memukau di awal cerita, tetapi pada paruh akhir film dia pun ikut bersinar. Tentunya juga Hanung Bramantyo dan Teuku Rifnu Wikana (yang tampil dalam berapa scene), benar-benar jadi orang yang menyebalkan sebagai pengusaha licik dan anak buahnya. Tentunya kehadiran aktor kawakan, Tio Pakusadewo sebagai Soeharto sekalipun cameo.
Yang kurang pas adalah pemeran anak-anak Habibei dewasa yang tampak jarak umurnya tidak jauh dari Habibie. Ini mungkin persoalan jajaran make up yang kurang menggambarkan wajah Habibie dan Ainun sewaktu di usia paruh baya. Make up ini saya kira masih merupakan persoalan film Indonesia. Untungnya akting  pemeran anak-anak Habibie ketika dewasa ini lumayan.
Tentunya juga produk placement yang berkeliaran dalam film ini, untungnya lebih halus daripada film Di Bawah Lindungan Kabah. Produk sirup dan biskuit di pesta pernikahan masih bisa diterima oleh logika saya. Pada 1960-an, dari sejarah kota Bandung yang sedang saya teliti terdapat beberapa pabrik sirup, limun dan biskuit di kota kembang itu dan sekitarnya. Cuma ada adegan yang tidak konsisten seperti mengapa bukan foto Soeharto aang diperankan Tio pakusadewo yang dipajang di dinding di samping foto Habibie   yang diperankan Reza Rahadian? Malah foto Soeharto asli.
Secara keseluruhan bagi saya Habibie dan Ainun adalah film romantis historis yang brilian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar