Jumat, 11 Januari 2013

Tentang Ayah

Ibarat sebuah generator yang mati, sebongkah hati perlu ada supply energi dalam menghidupkannya. Alternatif energi itu bisa berasal dari dalam diri manusia, yakni berupa semangat, passion, dan niat yang kuat. Adapun sumber dari luar berupa dorongan dan motivasi orang lain untuk selalu bergerak maju dalam menghadapi segala hambatan. Karena hati adalah sumber pergerakan yang mengatur segala aktivitas manusia, sehingga perlu dijaga kondisinya.
Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal darah, apabila dia berfungsi dengan baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah Qolbu (hati).” –(HR. Bukhari Muslim)-
Seberat apapun kaki melangkah, jika dibarengi dengan hati yang penuh semangat maka perjalanan hidup akan terasa mudah. Penderitaan yang dilalui dengan perjuangan akan menciptakan suatu kondisi yang menyenangkan meski melalui proses yang tidak instan. Kadang aku berpikir, ”Bagaimana cara menjalani hidup dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah dalam menghadapi masalah?” Inisial DUIT [Doa Ikhtiar Iman dan Takwa] bisa menjawabnya. No pain no gain, sebuah kesuksesan memiliki nilai pengorbanan di atasnya.
Ayah, lelaki pertama yang mencintaiku secara tulus, memberikan contoh perjuangan hidup yang berat dan menjadi sumber inspirasi hidupku selama ini. Meski telah tiada, semangat hidupnya masih melekat dalam jiwa. Sebagai anak pertama, beliau mengemban amanah yang tidak ringan karena kakek sudah tiada. Meski demikian, beliau selalu menorehkan prestasi yang membanggakan. Kuliah di Institut ternama di Bandung tak membuatnya terlena. Kuliah sambil berkerja merupakan kebiasaan yang menyenangkan bagi beliau. Bahkan, usai menamatkan pendidikan beliau masih berkewajiban untuk membiayai perkuliahan adiknya di institut yang sama dengannya.
Perjalanan cinta Ayahku pun penuh onak dan duri. Tak mudah, saat hati Ayahku terpaut dengan hati Ibuku yang berstatus Ibu Rumah Tangga beranak empat. Ibuku-pun akhirnya bercerai dan menikah dengan Ayah dengan kondisi hati yang tidak berkenan. Ibuku harus memisahkan anaknya dari suaminya yang pertama. Kehidupan baru Ibu bersama Ayahku menghasilkan benih cinta dengan kehadiranku di dunia. Kasih sayangnya yang melimpah terus terjaga hingga akhir hayatnya. Kebersamaanku dengan Ayah berakhir pada saat umurku mendekati dua tahun. Januari 1991, sebuah episode kehidupan baru yang harus aku tempuh tanpa sosok Ayah yang menemaniku.
Sekali lagi, semangat hidupnya masih menyala hingga kini. Saat Ayah berjuang untuk melawan keganasan kanker  di dalam usus, beliau kuat menggendongku di pundaknya. Beliau tak peduli dengan kesakitan dan kepahitan yang diderita. Hal yang membuatnya tersenyum adalah saat ia melihatku tersenyum dan menangis. Deretan memori yang takkan terlupakan. Semuanya terekam dalam kesaksian foto-foto Ayah bersamaku.
Sejuta mimpi dan semangat akan tercipta dalam sanubariku. Tanpa Ayah, pembangkit semangat hatiku mungkin akan redup, sulit menemukan cahayanya. Aku-pun melekatkannya dengan doa, agar semangat itu terus menyala. Bahkan, ketika aku mencintai sosok selain Ayah, aku berharap agar rasa semangat yang tercipta karena bermuara ke keridhoan-Nya. Aku tak ingin jiwa dan hatiku terluka karena kontaminasi. Sebuah kondisi yang sulit aku hindari saat muara hati berbelok ke arah-arah yang sulit aku pahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar